
Teater Tari “Citraresmi”
1 November 2017, Nu Art Sculpture Park Bandung
Sudah sejak berabad-abad lamanya, perempuan selalu diposisikan pada subordinat. Perempuan dipandang hanya sebagai kaum yang lemah, yang senantiasa membutuhkan bantuan dalam hidupnya. Bahkan, pada masa Kerajaan, perempuan hanya dijadikan sebagai upeti, sebagai sesembahan, atau terkadang dijadikan alat untuk memperluas wilayah. Dalam sebuah pertempuran, perempuan menjadi rampasan perang. Seolah-olah sebuah barang. Sungguh, perempuan seperti benda mati. Bukan makhluk hidup yang mempunyai hati dan perasaan.
Tahun 1357 M. Di Kawali, pusat dari Kerajaan Sunda. Ada seorang Putri yang bernama Citraresmi. Citraresmi, sebagai putri dari Kerajaan Sunda, berangkat bersama rombongan Kerajaan, didampingi ayahnya Maharaja Prabu Linggabuana dan ibunya Ratu Laralinsing, untuk melangsungkan perkawinan dengan Raja Hayam Wuruk dari Kerajaan Majapahit yang melamarnya. Tapi sesampainya mereka di Bubat tak ada sambutan dari sang peminang, malah Patih Gajah Mada, meminta Kerajaan Galuh menyerahkan Citraresmi sebagai upeti.
Maharaja Prabu Linggabuana tidak terima. Dia memilih untuk berperang dengan pasukan seadanya, tanpa persenjataan yang lengkap, sebab hanya berniat mengantar calon pengantin. Prabu Linggabuana memilih bertempur sampai tumpur daripada harus tunduk kepada Kerajaan Majapahit. Prabu Linggabuana beserta seluruh rombongan akhirnya gugur di medan Bubat.
Lalu Citraresmi? Citraresmi, perempuan yang saat itu nasibnya berada di ujung tanduk, tidak merasa harus tunduk pada keinginan Gajah Mada. Citraresmi menunjukkan sikapnya sebagai seorang perempuan sejati. Dia menghunus patremnya, membunuh dirinya sendiri. Citraresmi tidak ingin takluk pada kenyataan, bahwa dirinya hanya sebuah persembahan. Citraresmi tetap menjunjung tinggi kehormatan Kerajaan Sunda, meski dengan menyerahkan dirinya pada kematian.
Kematian bagi Citraresmi adalah jalan satu-satunya agar dirinya, bisa menunjukkan kepada dunia, bahwa perempuan, dalam kondisi sesempit apapun, bisa tetap kukuh dalam kediriannya sebagai perempuan. Dia tidak takluk pada pandangan dunia yang melihatnya hanya sebagai upeti.
Titimangsa Foundation berkerjasama dengan Mainteater Bandung
Tim Kerja
Penyelenggara : Titimangsa Foundation, Mainteater Bandung
Produser : Happy Salma
Sutradara : Wawan Sofwan
Penulis Naskah : Toni Lesmana
Pemain : Maudy Koesnaedi, Miming Suwandi, Ida Rosida Koswara
Rinrin Candraresmi, Ria Ellysa Mifelsa, Hanna Rosiana
Maudy Widitya, Wina Rezky Agustina, Dini Dian Anggraeni
Ulfa Yulia, Elfira Sofianni Putri
Asisten Sutradara : Heliana Sinaga
Penata Gerak : Rachmayati Nilakusumah
Pimpinan Artistik : Joko Avianto
Penata Cahaya : Aji Sangaji
Penata Kostum : Yosepin Sri – Putrisavu
Penata Rias : Taufik S. – oymakeup
Manajer Panggung : Dasep Sumardjani
Kru Panggung : Fuad Jauharudin, Yosef M. Ibrahim, Dwi Aryanto Arnando
Penata Musik : Iman Ulle
Pemusik : Ricky Vioul Destiawan, Hasim Maulana, Isep Spiralisman
Dina Sugianti, Gingin Ginarya
Asisten Produser : Pradetya Novitri
Pimpinan Produksi : Osi Prisepti
Desainer Grafis : Dita Rosmaritasari
Publikasi & Media Sosial : Zenit Julita Sari
Dokumentasi : Muhammad Sa’iquddin Ashshofy, Aditya Saputra
Ginanjar Fadilah
Fasilitas : Surya Dwi Santi, Fizal Aji Pratama, Feliana Eka Dewi
Pemandu : Nirvana Vania, Jessy Tjahjadi